Rabu, 28 Maret 2012

SEJARAH KEBUDAYAAN ENDE LIO by RENOL KOTA-NDONA



I.             SEJARAH KEBUDAYAAN SUKU ENDE-LIO DI FLORES
Ende merupakan Kota Kabupaten yang terletak di tengah-tengah pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Di wilayah Kabupaten Ende terdapat dua (2) suku yang mendiami daerah tersebut, yakni suku Ende dan Suku Lio. Pada umumnya suku Lio bermukim di daerah pegunungan. Lokasinya sekitar wilayah utara Kabupaten Ende. Dan suku Ende bermukim di daerah pesisir yakni bagian selatan Kabupaten Ende.
Pada dasarnya, bentuk kebudayaan kedua suku ini hampir sama, yang membedakannya adalah hasil pencampuran kebudayaan atau akulturasi. Budaya suku Lio merupakan perpaduan suku asli daerah Lio dengan ajaran Kristen Katolik yang dibawah oleh bangsa Belanda. Sedangkan budaya suku Ende merupakan perpaduan budaya asli daerah Ende dengan budaya Islam yang dibawah oleh pedagang-pedagang dari Sulawesi, yakni Makasar.
Sebab akibat masuknya ajaran Islam yang dibawah oleh kaum pedagang dari Makasar adalah lokasi bermukim suku Ende yang terletak di daerah pesisir pantai. Mengingat jalur penghubung menuju daerah luar pada saat itu hanya melalui transportasi laut, maka hal itu juga yang menghubungkan jalur perdagangan, ditambah dengan sikap masyarakat suku Ende yang terbuka pada hal-hal baru; dengan sendirinya para pedagang tersebut merasa bahwa kedatangannya diterima.
Pada saat kapal niaga yang mengangkut para pedagang tersebut datang, mereka disambut baik dan ramah oleh masyarakat setempat. Merasa kedatangan mereka diterima, sebagian dari pedagang tersebut bahkan ingin menetap di daerah Ende dan menikah dengan orang-orang masyarakat suku asli Ende. Berhubung para pedagang dari Makasar tersebut telah terlebih dahulu memeluk Islam, maka mereka juga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku Ende yang waktu itu masih memeluk ajaran nenek moyang (animisme).
Contoh perpaduan budaya asli Ende dengan budaya dari Makasar yakni pakaian adat wanita yaitu Rambu (baju) yang hampir memiliki kesamaan bentuk dengan atasan baju Bodo (Baju Adat wanita Sulawesi Selatan).
Berbeda dengan sejarah perkembangan agama Islam, Kristianitas, khususnya Katolik sudah dikenal oleh Penduduk Lio sejak abad ke-16. Napak tilasnyanya diawali ketika tahun 1556 Pertugis tiba pertama kali di Solor dimana seperti yang kita ketahui bahwa mayoritas masyarakat Protugis mengimani agama Katolik. Selanjutnya tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat  (4) Misonaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di Flores. Diikuti pembangunan benteng di Solor tahun 1566 oleh Pastor Antonio da Cruz sehingga mempermudah penyebaran agama Kristen di daerah Flores khususnya di daerah Lio. Tahun 1577 sudah terdapat sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37).
Meskipun terdapat dua agama yang hidup dalam wilayah yang masih memiliki satu rumpun kebudayaan; kehidupan agama di wilayah Ende-Lio memiliki berbagai kekhasan. Bagaimana pun hidup beragama di Ende-Lio sebagaimana di daerah lainnya sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural, yaitu pola tradisi asli warisan nenek moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga di daerah Ende-Lio terdapat semacam pencampuran yang aneh antara kehidupan religius dan kekafiran (agama nenek moyang) (Vatter 1984:38)



II.          RIWAYAT MASYARAKAT ADAT ENDE-LIO
Penelusuran sejarah mengatakan bahwa penduduk pertama di pulau Flores adalah manusia Wajak, yang muncul sekitar empat puluh ribu tahun lalu. Setelah zaman glatsial sekitar empat ribu tahun yang lalu, Nusa Tenggara terpisah dari Asia daratan. Terjadilah imigran dari Asia ke selatan. Kelompok imigran itu adalah manusia Proto Malayid yang berasal dari Yunani dan pedalaman Indo Cina. Mereka mendiami Flores bagian barat dan tengah. Secara fisik mereka itu memperlihatkan ciri-ciri manusia Malenesoid, Negroid, Papua dan Australoid.
Professor Yoseph Glinka (pakar Antropologi Ragawi) yang membuat studi tentang manusia NTT, mengatakan: “… Ata Lio di Flores tengah merupakan penduduk tertua di Flores, … Ata Lio bertetangga dengan Ata Ende. Diantara keduanya tak terdapat hubungan geneologis. Keduanya juga bertetangga dengan Ata Nagakeo di barat dan Ata Sikka di bagian timur…”
Sejauh mana ungkapan kebenaran penelitian ini, tentu membutuhkan pengkajian dan pembuktian lebih mendalam. Yang jelas masyarakat adat dari dua etnis besar ini ada dalam satu kesatuan geografis dan memiliki beberapa kesamaan budaya dan adat istiadat seperti cara berpikir dalam membangun kampung adat serta acara atau ritual/seremonial.

III.       RIWAYAT PERKAMPUNGAN ADAT ENDE-LIO
Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan akan rumah dan kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang kedua etnis ini membangun rumah dan perkampungan adat dengan menggunakan teknologi dan arsitektur tersendiri sebagai manifestasi hasil cipta, karsa dan karya seni budaya di zamannya.
Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradaban modern, di wilayah Kabupaten Ende telah hidup nenek moyang dari dua etnis dalam satu peradaban yang telah maju di zamannya. Mereka memiliki kemampuan dalam mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya sebuah perkampungan tradisional yang bernilai tinggi arsitekturnya sehingga hal ini menjadi bahan penelitian para pakar bangunan.
Perkampungan tradisional dengan bangunan-bangunan rumah adat dan bangunan pendukung lainnya seperti Keda, Kanga, Tubu Musu merupakan warisan leluhur, walaupun di beberpa tempat sudah mengalami perubahan dan kepunahan dari bentuk aslinya akibat proses alam, perjalanan waktu dan ulah manusia. Namun demikian tetap mempunyai nilai sejarah dan daya tarik bagi pencinta wisata budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya nenek moyang masih mewarnai kehidupan masyarakat adat sekarang seperti dalam upaya membangun kembali kampung dan rumah adat di Nggela, Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan beberapa tempat lain. Kegiatan ini berkembang menjadi atraksi wisata budaya. Beberapa tempat yang memiliki tradisi tersebut adalah kampung-kampung tradisional yang tersebar dalam wilayah Kabupaten Ende seperti Ranggase, Moni, Tenda, Nuakota, Pora, Wolojita, Wolopau, Nuamulu, Sokoria, Kurulimbu, Ndungga, Wololea, Woloare, Wolofeo, Saga, Pu’utuga, dll.
Salah satu perkampungan dan rumah adat tradisonal yang masih utuh bangunannya adalah di Ngalupolo, terletak di Kecamatan Ndona. Perkampungan tua yangm menarik dan mempunyai bentuk rumah yang unik dengan arsitektur khas Ende-Lio walaupun atapnya mirip Joglo seperti di pulau Jawa–namun berbeda latar belakang filosofisnya.
Rumah tinggal dan perkampungan tradisional yang dibangun nenek moyang tersebut, memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya sehingga tampak unik dan memberikan kedamaian bagi penghuninya.
Perjalanan waktu yang begitu panjang dan akulturasi budaya akibat masuknya etnis pendatang dari luar, seperti dari Bugis, Makasar dan Bima telah mempegaruhi kehidupan budaya masyarakat setempat. Pada awalnya nenek moyang Ata Ende membangun rumah dan perkampung adat sama seperti Ata Lio, namun pada perkembangannya mengalami perubahan yang kemudian disebut “Sa’o Panggo” atau “Tiga Tezu” (Rumah Panggung Tiga Kamar) dimana tiang dan lantainya terbuat dari balok kayu atau kelapa gelondongan, berdinding bambu, beratap daun kelapa atau sirap bambu dengan bentuk atap memanjang dan puncaknya dihias seperti sirip ikan. Rumah ini memiliki kolong.

IV.       STRUKTUR GEOGRAFIS WILAYAH ENDE-LIO
Batas Wilayah Kabupaten Ende:
·         Sebelah Utara Kabupaten Ende Berbatasan dengan Laut Flores di Nangaboa dan Ngalu Ijukate
·         Sebelah Selatan Kabupaten Ende berbatasan dengan Laut Sawu juga di Nangaboa dan Ngalu Ijukate
·         Sebelah Timur Kabupaten Ende berbatasan dengan Kabupaten Sikka
·         Sebelah Barat Kabupaten Ende berbataan dengan Kabupaten Ngada

Kabupaten Ende mempunyai Luas 2.046,60 km². dengan wilayah administratif yang terdiri dari 20 Kecamatan yang dibagi lagi menjadi 165 Desa dan 20 Kelurahan. Secara terperinci 20 wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Ende, yakni,
1.      Kecamatan Ngapanda
2.      Kecamatan Pulau Ende
3.      Kecamatan Maukaro
4.      Kecamatan Wewaria
5.      Kecamatan Detusoko
6.      Kecamatan Wolojita
7.      Kecamatan Wolowaru
8.      Kecamatan Kelimutu
9.      Kecamatan Maurole
10.  Kecamatan Detukeli
11.  Kecamatan Kota Baru
12.  Kecamatan Lio Timur
13.  Kecamatan Ende
14.  Kecamatan Ende Selatan
15.  Kecamatan Ndona
16.  Kecamatan Ndona Timur
17.  Kecamatan Ndori
18.  Kecamatan Ende Timur
19.  Kecamatan Ende Tengah
20.  Kecamatan Ndona Timur.

V.          SENI SASTRA ENDE-LIO
Kabupaten Ende mempunyai dua etnik, yaitu etnik Ende dan etnik Lio. Kedua suku ini mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam kata-kata maupun dialek/logatnya; sehingga dari segi bahasanya suku Ende disebut ata jaő dan suku Lio disebut ata ina. Selain bahasa sehari-hari atau bahasa pasar, ada pula bahasa adat dalam ungkapan kata-kata adat maupun berbentuk lagu mengandung seni sastra yang sangat tinggi yang dipertahankan secara turun temurun hingga kini. Ungkapan kata-kata adat hanya digunakan pada saat berbagai acara adat maupun acara ritual/seremonial adat dan acara-acara lainnya yang berkaitan dengan adat.
Adapun seni sastra yang ada di Ende-Lio diantaranya:
a.    Sua
Yakni, ungkapan kata-kata adat yang mengandung arti dan makna pada suatu benda untuk memperoleh kekuatan pada benda tersebut bila digunakan sebagai sarana.
b.   Sua Sasa
Ungkapan kata-kata adat yang bersifat kutukan atau membalas/mengembalikan kejahatan yang dibuat oleh orang lain baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
c.    Soa Somba
Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan/usaha  memperoleh hasil  yang berlimpah atau yang memuaskan.
d.   Soa Sola
Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan/usaha memperoleh hasil yang berlimpah atau yang memuaskan.
e.    Bhea
     Ungkapan kata-kata adat yang merupakan syair kebanggaan dari suku-suku/kaum keluarga secara turun-temurun; diucapkan pada saat seremonial adat dan juga awal dari tarian woge.
f.    Nijo
     Ungkapan kata-kata adat/doa dengan kata kunci atau Ine yang dilakukan oleh Ata Bhisa Mali/Dukun dalam proses penyembuhan orang sakit, seperti Nijo Ru’u atau penyakit lainnya.

g.   Nunga Nage
     Berbagai jenis cerita rakyat seperti mite, sage, legenda, dll. Diceritakan oleh orang tua pada saat senggang atau menjelang tidur dan juga pada saat memetik hasil panen.
h.   Lota
     Membaca tulisan naskah/syair pada daun lontar/wunu keli dalam bahasa dan tulisan sansekerta. Hal ini merupakan satu keanehan karena bahasanya tidak dimengerti tetapi orang senang mendengarnya. Membaca naskah Lota ini sebenarnya merupakan busaya Jawa yang telah menjadi akar budaya Ende dan dipertahankan secara turun-temurun hingga kini.
i.     Sodha
     Ungkapan kata-kata adat dengan nada pada acara Gawi dan susunan kata-katanya disesuaikan dengan acara pesta adat yang diperuntukan. Sodha dibawakan oleh salah satu orang yang telah ditunjuk. Sodha Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu syairnya tidak ditulis dan bukan semua orang menjadi pe-sodha, melainkan hanya orang-orang tertentu.
j.     Doja
     Menyanyikan lagu yang dipersiapkan secara khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat maupun lagu pernikahan atau lagu hymne dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan. Lagu-lagu yang dinyanyikan disebut juga lagu selamat.
k.   Jenda
     Dinyanyikan secara spontan/tanpa teks oleh seseorang atau dua orang secara bergantian dengan syair pele nekē seperti berbalas pantun pada acara seremonial adat. Jenda biasanya dalam posisi duduk dan isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila dinyanyikan oleh dua orang kata-katanya merupakan sindiran.

l.     Woi Nada
     Ratapan yang mengisahkan perjalanan hidup pasangan muda-mudi yang menyedihkan dalam cerita rakyat Ende-Lio dan ada pula Woi yang dilakukan para dukun/bhisa mali dalam mengobati orang sakit dengan melagukan nada woi dalam keadaan tanpa sadar untuk menelusuri penyebab sakit/penyakit.
m. Peo Oro
     Yaitu menyanyikan lagu-lagu tradisional oleh peo/solo dan dijawab oleh koor/oro. Peo Oro ini sangat kaya, karena untuk mengatasi sesuatu pekerjaan yang berat menjadi ringan, seperti:
-          Mboka : Goro watu rate dan balok menggunakan rumah adat wa’u barang berat lainnya dengan cara menarik bersama-sama.
-          O Lea: Lagu dalam kebersamaan meniti jagung yang dipanen.
-          Rongi : membuka lahan atau kebun
-          Dawe Dera: menanam tanaman
-          Debu Dera: menetas padi, dll.
n.   Soka Ke Lai Lowo:
     Syair lagu untuk menina-bobokan anak kecil dan lagunya hampir sama dengan sodha, hanya syairnya merupakan kata-kata jenaka dan Soka Ke ini juga dipakai dalam acara gawi yang tidak resmi disebut Sodha Lai Lowo.
o.   Ndeo
     Penyanyi menyanyikan lagu secara bebas baik secara serius maupun bersifat jenaka/menghibur dalam berbagai acara. Ndeo ini berkembang menjadi pop Ende-lio dalam rekaman audio-visual berbentuk kase/VCD yang berkembang pesat menjadi hasil produksi para seniman/seniwati Kabupaten Ende.

VI.       SENI TARI ENDE-LIO
Tarian Ende-Lio adalah sebua tarian daerah yang mengekspresikan rasa lewat tatanan gerak dalam irama musik dan lagu. Dilihat dari tata gerak dan bentuknya, tarian Ende-Lio dapat dibagikan beberapa jenis, diantaranya yaitu:
·         Toja
Kelompok penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk ragam dan irama musik/lagu untuk suatu penampilan yang resmi
·         Wanda
Penari dengan gayanya masin-masing, menari mengikuti irama musik/lagu dalam suatu kelompok atau perorangan.
·         Wedho
Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan-akan melompat; dengan mengandalkan kelincahan kaki dengan penuh energi dan dinamis, dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau atau perisai dan pedang/parang.
·         Gawi
Gerak tari dengan menyentakan kaki pada tanah.

Untuk istilah toja dan wanda sebenarnya sama arti yaitu menari, hanya cara dan fungsinya berbeda dan kata wanda untuk suku Lio berarti Toja. Dari generasi ke generasi para instruktur tari/peñata tari telah banyak menciptakan tarian dianataranya, yaitu:
a.       Gawi Naro
Jenis tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan tangan dan menyentakan kaki dalam bentuk dua macam ragam yairu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju.
b.      Tekka Se
Tarian ini bentuknya seperti gawi/naro, hanya berupa gerakan kaki satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/naro. Keunikan dari Tekke Se, pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun, dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda dan sekitarnya
c.       Wanda/Toja Pau
Tarian massa penampilan secara perorangan/individual dalam suatu acara, biasanya menari diiringi dengan selendang diiringi musik nggo wani, lamba atau musik feko genda. Biasanya bila penari wanita selesai menari, dia harus memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau lebih khususnya yaitu ana noő, demikian sebaliknya ana noő memberi selendang kepada ana eda/bele untuk menari.
d.      Neku Wenggu
Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara penjemputan atau mengantar sarana paä loka/sesajian atau para tamu dan lain-lain. Bentuk tarian neku wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama dari setiap daerah di Ende-Lio, diantaranya yaitu: Napa Nuwa, Poto Wolo, Poto Pala, Goro Watu/Kaju, dll.
e.       Tarian Joka Sapa
Tarian ini tergolong tarian nelayan dan juga ada jenis yang sama seperti tarian Manu Tai di Ngalupolo-Ndona. Kekhasan tarian ini, para gadis/penari dengan pakaian nelayan diiringi dengan musik/lagu gambus. Adapula tarian nelayan dibawakan oleh masyarakat di pesisir pantai Ende Selatan/Utara dengan berbagai nama tarian seperti: terian Nelayan, tarian Irikiki, terian Geru Gaga, Tarian Manusama, Tarian Wesa Pae, dll.

f.       Tarian Mure
Mure artinya saling mendukung, tarian ini terdiri dari para ibu/gadis dari keluarga mosalaki di Nggela, Pora, Waga yang diadakan pada acara ritual adat memohon hujan. Tarian ini dengan kostum tradisional, lawo tege kasa dan tidak berbaju, musik pengiringnya yaitu nggo wani/Lamba disertai dengan lagu yang khas Wenggu untuk tarian Mure.
g.      Tarian Sangga Alu/Assu
Tarian ini awalnya adalah permainan dan lambat laun berkembang menjadi sebuah tarian dan penarinya terdiri dari 2 (dua) pasang muda-mudi disertai dengan seorang ana jara. Dalam penampilan dibutuhkan 4 hingga 8 orang pemain bambu palang dengan cara menyentak dan menjepit secara serentak. Para penari memasukan kaki diantara bambu dari tempo lambat hingga tempo cepat, selanjutnya dipadukan dengan irama lagu serta ana jara menari mengelilingi penari/pemain bambu palang.
h.      Jara Angi
Tarian jara angi atau kuda siluman dan yang paling popular disebut Tari Kuda Kepang, penarinya terdiri dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan kuda yang dibuat dari Mba’o (selendang pinang) atau daun kelapa yang dianyam dengan bentuk seperti kuda.
i.        Tarian Pala Tubu Musu
Penari terdiri dari para ibu/gadis dari setiap keluarga mosalaki di Wolotopo-Ndona, dengan seorang laki-lai sebagai penari woge untuk upacara paä loka atau memberi sesajian di tubu musu.



j.        Tarian Dowe Dara
Tarian dowe dara ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri dari 2 (dua) kelompok yairu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan upacara ritual adat di tempat Mopo (ditengah-tengah ladang).
k.      Tarian Napa Nuwa
Tarian ini sebagai luapan kegembiraan dari para pejuang yang telah menang dalam peperangan. Penari terdiri dari beberapa pejuang atau beberapa orang laki-laki, dilengkapi dengan alat perang yaitu mbale dan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian ini diawali dengan neku wenggu dilanjutkan dengan bhea dan woge serta ruǔ atau agak dengan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan musik Nggo Lamba/Wani dan lagu Da Seko.
l.        Tarian Ule Lela Nggewa
Judul tarian ini identik dengan lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau menyanyikan lagu Ule Lela Nggewa pasti akan ingat dengan tariannya. Dalam tarian ini penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang, Pada zaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya. Tarian ini telah membawa NTT dalam tingkat Nasional di Jakarta dibawakan oleh Sanggar Seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya di berbagai Negara dibawakan oleh Yayasan Budaya Bangsa.
m.    Tarian Woge
Tarian woge diiringi dengan nggo lamba/wani dengan irama yang khas. Tarian ini biasanya ditarikan oleh satu orang atau secara individual pada upacara adat didahului dengan kata-kata/syair atau bhea. Penari dilengkapi dengan alat-alat perang seperti mbaku dan sau atau perisai dan pedang/parang, pada pergelangan kaki dikat dengan untaian woda atau lonceng giring-giring. Dewasa ini dasar dari tarian woge berkembang menjadi tarian secara group/massa dengan tata gerak atau ragamnya serta design lantai digarap dengan berik sehingga menjadi sebuah tarian yang indah.

Di Kabupaten Ende masih sangat masih sangat banyak tarian yang sudah dikenal oleh masyarakat luas yang belum dapat kami uraikan secara satu persatu. Kekayaan seni tari selain tari tradisional yang menyangkut upacara adat, ada pula para instruktur tari menampilkan karyanya dengan judul dari berbagai jenis burung, berladang, menenun, nelayan, dan tari kreasi baru lainnya.

VII.    KERAJINAN TENUN IKAT MASYARAKAT ENDE-LIO
Sebagian besar masyarakat Ende-Lio hidup dari bercocok tanam, nelayan dan beternak seperti kerbau kuda, sapi dan kambing. Jenis-jenis hewan tersebut dipergunakan sebagai alat pembayaran mas kawin. Dan kehidupan masa lampau juga sering memanfaatkan hewan kuda sebagai sarana transportasi. Selain profesi tersebut hal yang sangat menonjol dari daerah suku Ende-Lio adalah kerajinan tenun ikatnya. Meski demikian diantara kedua wilayah suku ini sedikit memiliki perbedaan jenis kerajinan tenun ikat.

·         Kerajinan Tenun Ikat Ende
Seperti halnya di Sumba dan Timor, menenun dikerjakan oleh para wanita. Kepandaian menenun ini diwariskan secara turun-temurun, dan telah dipelajari sejak mereka masih kecil. Salah satu tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan memakan sirih khususnya saat sepanjang hari mereka bertenun. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai penutup jenasah yang akan dimakamkan. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun juga dipergunakan sebagai perlengkapan upacara adat, sebagai pakaian adat, pakaian upacara dan juga mass kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain digunakan pewarna sintesis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan baku kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat dicelup dengan pewarna alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas juga masih ada.
Tenun ikat Ende dibuat dari bahan kapas yang dipilih oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan menyolok.
Hasil tenunan di daerah Ende sedikit bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di daerah pesisir pantai selatan Flores memungkinkan orang-orang Ende pada masa lalu berhubungan dengan orang Eropa. Tenun ikat Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah. Salah satu ragam hias kain tenun Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lainnya adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Ende pada umumnya tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping kedua ujung atau pinggir kain.

·         Kerajinan Tenun Ikat Lio
Salah satu daerah di Flores yang cukup menonjol dalam pembuatan kain tenun ikatnya adalah daerah Lio. Ragam hias kain tenun ikat dari daerah ini diilhami oleh kain patola India berupa motif ceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motif ceplok kain dari Lio ini juga dihias dengan motif daun dan ranting. Kain patola diperkenalkan oleh para pedagang dari Portugis, yang pada abad keenam belas mengadakan perdagangan dan pertukaran kain patola dengan rempah-rempah dari Nusantara bagian timur. Bangsa Portugis dan bangsa-bangsa Eropa lain (Belanda dan Jerman) meninggalkan pengaruh yang begitu besar, terutama karena banyaknya misionaris.
Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki motif-motif patola yang diperuntukan khusus bagi kalangan raja-raja, pejabat dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio dengan ragam hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau pendiri kampung yang disebut mosalaki. Bahkan kain dianggap sangat istimewah hingga ikut dikuburkan bersama jenazah seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio panjangnnya mencapai sekitar empat meter.
Ciri khas motif tenun Lio yang lain adalah ukurannya yang kecil dengan bentuk geometris, manusia, biawak dan lain-lain yang disusun membentuk jalur-jalur kecil berwarna merah atau biru di atas dasar warna gelap. Kain tenun Lio ini juga diberi hiasan tambahan atau aplikasi dengan manik-manik dan kulit kerang. Pakaian dengan hiasan khusus ini hanya dipergunakan dalam upacara-upacara adat tertentu.
Selain terkenal dengan tenunnya, Lio juga penghasil kerajinan tembikar berupa kebutuhan rumah tangga khususnya peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat. Ada satu kesamaan ragam hias pada kain tenun ikat dan barang tembikar yaitu goresan garis-garis geometris seperti bentuk maender, kait, belah ketupat, tumpal dan lainya yang sering terdapat pada ragam hias ikat pada kain tenun dan anyaman.

VIII. ANEKA WISATA DI DAERAH ENDE-LIO
·         Danau Kelimutu
Ende adalah wilayah yang menyenangkan dengan panorama bukit yang mengelilingi. Pada kawasan perbukitan yang mengelilingi Ende terdapat gunung Meja (661 m) yang berada berdekatan dengan Bandar Udara Arubusman. Sementara gunung yang lebih besar, gunung Iya berada di sebelah selatannya. Pada Bulan Desember 1992 sebuah gempa bumi menghancurkan dan memporak-porandakan Ende namun saat ini telah kembali normal. Ende memiliki cuaca panas dan berdebu khusunya pada saat akhir musim kering.
Bumi Kabupaten Ende yang berbukit-bukit ternyata menyimpan keindahan yang luar biasa. Disinilah terdapat gunung Kelimutu , di kawasan Taman Nasional Kelimutu. Terdapat juga Danau Kelimutu yang disebut juga Danau Tiga Warna yang begitu terkenal. Bahkan, danau ini oleh dunia disebut sebagai salah satu dari Sembilan Keajaiban Dunia.
Keindahan danau ini dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929. Sejak itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal mistik oleh masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga para peneliti yang ingin tahu fenomena alam yang amat langkah ini. Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.
Gunung Kelimutu meletus terakhir pada 1886 dan meninggalkan tiga kawah berbentuk danau yang airnya berwarna merah (tiwu ata polo), biru (tiwu ko’o fai nuwa muri) dan putih (tiwu ata bupu). Ketiga warna ini mulai berubah sejak 1969 saat meletusnya gunung Iya di Ende, dan perubahan warna itu pernah serupa.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, danau dengan air warna merah merupakan tempat berkumpulnya para arwah orang jahat. Danau biru untuk arwah para muda-mudi, dan danau berwarna putih untuk arwa orang tua. Para arwah diyakini akan bermukim di danau itu sesuai status sosialnya.

·         Rumah Pengasingan Bung Karno Di Ende
Setelah puas menikmati keindahan panorama Danau Kelimutu, wisatawan bisa singgah di rumah bekas pengasingan Proklamator RI Soekarno yang terletak di jantung kota Ende. Di sini tersimpan barang-barang milik Soekarno ketika menjalani masa pengasingan selama empat tahun di Ende. Rumah yang terletak di jalan Perwira, Kota Ende itu tampak seperti layaknya permukiman penduduk karena kosntruksinya menyerupai permukiman di sampingnya.
Hal yang membedakannya adalah sebuah papan nama bertuliskan “Situs, Bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende” yang terpampang di halaman depan. Di rumah yang berukuran 12X9 meter ini, Presiden pertama Republik Indonesia itu menjalani masa pengasingan oleh kolonial Belanda selama empat tahun (1934-1938).
Dalam berbagai catratan yang mengupas tentang masa pengasingan Bung Karno di Ende Pulau Flores NTT salah satu yang paling diminati masyarakat adalah buku berjudul “Bung Karno, Ilham Dari Flores Untuk Nusantara”. Buku ini menceritakan perenungan Bung Karno di bawah sebuah pohon Sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan lima butir Pancasila. Kelima butir Pancasila secara resmi diumumkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai.
Rumah Soekarno dan pohon sukun menjadi dua saksi sejarah yang berada di jantung kota Ende yang tetap terpelihara dengan baik sampai sekarang. Di kalangan masyarakat Ende, rumah pengasingan bung Karno ini dianggap sakral.

·         Museum Bahari Ende
Wisatawan yang berada di Ende dapat juga menikmati Museum Bahari yang dibangun dengan koleksi antara lain biodata laut. Museum ini dapat dikunjungi setiap hari dan disebelah terdapat Museum Rumah Adat yang berbentuk rumah adat dengan ukuran besar.
Di depannya terdapat bangunan bergaya desa adat yang dilengkapi altar persembahan. Rumah tradisional masyarakat Ende yang berada di atas tiang dapat ditemui di Wolotopo yang terletak sekitar 8 Km di wilayah timur kota Ende.

·         Perkampungan Wisata Moni
Moni adalah sebuah desa yang cantik dengan udara pegunungan yang sejuk dan tempat yang menyenangkan untuk berjalan-jalan. Desa ini merupakan pintu gerbang bagi wisatawan yang akan menuju ke Danau Kelimutu. Wilayah Desa Moni yang berada di jalur jalan Ende–Maumere merupakan pusat dari wilayah Lio yang meliputi kawasan mulai dari timur Ende hingga ke Wolowaru.
Beberapa desa di sekitar Moni merupakan sentral kerajinan tenun ikat antara lain di Desa Wolowaru yang berada di jalan raya menuju Maumere. Desa yang terletak sekitar 13 Km di tenggara Moni ini dapat menjadi titik awal perjalanan menuju ke beberapa desa lainnya yang juga menjadi sentral kerajinan tenun ikat seperti Jopu, Wolojita dan Nggela.
Produksi kain tenun ikat di Nggela dikerjakan dengan tangan dan menggunakan celupan pewarna alami. Hasil kain tenun dari Nggela merupakan salah satu yang terbaik di Flores. Di Nggela, wisatawan dapat langsung menyaksikan penduduk setempat membuat kain tenun ikat.