I.
SEJARAH
KEBUDAYAAN SUKU ENDE-LIO DI FLORES
Ende merupakan Kota Kabupaten yang terletak di
tengah-tengah pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Di
wilayah Kabupaten Ende terdapat dua (2) suku yang mendiami daerah tersebut,
yakni suku Ende dan Suku Lio. Pada umumnya suku Lio bermukim di daerah
pegunungan. Lokasinya sekitar wilayah utara Kabupaten Ende. Dan suku Ende
bermukim di daerah pesisir yakni bagian selatan Kabupaten Ende.
Pada dasarnya, bentuk kebudayaan kedua suku ini
hampir sama, yang membedakannya adalah hasil pencampuran kebudayaan atau
akulturasi. Budaya suku Lio merupakan perpaduan suku asli daerah Lio dengan
ajaran Kristen Katolik yang dibawah oleh bangsa Belanda. Sedangkan budaya suku
Ende merupakan perpaduan budaya asli daerah Ende dengan budaya Islam yang
dibawah oleh pedagang-pedagang dari Sulawesi, yakni Makasar.
Sebab akibat masuknya ajaran Islam yang dibawah oleh
kaum pedagang dari Makasar adalah lokasi bermukim suku Ende yang terletak di
daerah pesisir pantai. Mengingat jalur penghubung menuju daerah luar pada saat
itu hanya melalui transportasi laut, maka hal itu juga yang menghubungkan jalur
perdagangan, ditambah dengan sikap masyarakat suku Ende yang terbuka pada
hal-hal baru; dengan sendirinya para pedagang tersebut merasa bahwa
kedatangannya diterima.
Pada saat kapal niaga yang mengangkut para pedagang
tersebut datang, mereka disambut baik dan ramah oleh masyarakat setempat.
Merasa kedatangan mereka diterima, sebagian dari pedagang tersebut bahkan ingin
menetap di daerah Ende dan menikah dengan orang-orang masyarakat suku asli
Ende. Berhubung para pedagang dari Makasar tersebut telah terlebih dahulu
memeluk Islam, maka mereka juga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku
Ende yang waktu itu masih memeluk ajaran nenek moyang (animisme).
Contoh perpaduan budaya asli Ende dengan budaya dari
Makasar yakni pakaian adat wanita yaitu Rambu
(baju) yang hampir memiliki kesamaan bentuk dengan atasan baju Bodo (Baju Adat
wanita Sulawesi Selatan).
Berbeda dengan sejarah perkembangan agama Islam, Kristianitas,
khususnya Katolik sudah dikenal oleh Penduduk Lio sejak abad ke-16. Napak
tilasnyanya diawali ketika tahun 1556 Pertugis tiba pertama kali di Solor
dimana seperti yang kita ketahui bahwa mayoritas masyarakat Protugis mengimani
agama Katolik. Selanjutnya tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat (4) Misonaris Dominikan untuk mendirikan misi
permanen di Flores. Diikuti pembangunan benteng di Solor tahun 1566 oleh Pastor
Antonio da Cruz sehingga mempermudah penyebaran agama Kristen di daerah Flores
khususnya di daerah Lio. Tahun 1577 sudah terdapat sekitar 50.000 orang Katolik
di Flores (Pinto, 2000: 33-37).
Meskipun terdapat dua agama yang hidup dalam wilayah
yang masih memiliki satu rumpun kebudayaan; kehidupan agama di wilayah Ende-Lio
memiliki berbagai kekhasan. Bagaimana pun hidup beragama di Ende-Lio
sebagaimana di daerah lainnya sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural, yaitu
pola tradisi asli warisan nenek moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis,
yakni tradisi-tradisi luar turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat.
Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga di daerah
Ende-Lio terdapat semacam pencampuran yang aneh antara kehidupan religius dan
kekafiran (agama nenek moyang) (Vatter 1984:38)
II.
RIWAYAT
MASYARAKAT ADAT ENDE-LIO
Penelusuran sejarah mengatakan bahwa penduduk
pertama di pulau Flores adalah manusia Wajak,
yang muncul sekitar empat puluh ribu tahun lalu. Setelah zaman glatsial sekitar
empat ribu tahun yang lalu, Nusa Tenggara terpisah dari Asia daratan.
Terjadilah imigran dari Asia ke selatan. Kelompok imigran itu adalah manusia Proto Malayid yang berasal dari Yunani dan
pedalaman Indo Cina. Mereka mendiami Flores bagian barat dan tengah. Secara
fisik mereka itu memperlihatkan ciri-ciri manusia Malenesoid, Negroid, Papua
dan Australoid.
Professor Yoseph Glinka (pakar Antropologi Ragawi)
yang membuat studi tentang manusia NTT, mengatakan: “… Ata Lio di Flores tengah merupakan penduduk tertua di Flores, … Ata Lio bertetangga dengan Ata Ende. Diantara keduanya tak terdapat
hubungan geneologis. Keduanya juga bertetangga dengan Ata Nagakeo di barat dan Ata Sikka
di bagian timur…”
Sejauh mana ungkapan kebenaran penelitian ini, tentu
membutuhkan pengkajian dan pembuktian lebih mendalam. Yang jelas masyarakat
adat dari dua etnis besar ini ada dalam satu kesatuan geografis dan memiliki
beberapa kesamaan budaya dan adat istiadat seperti cara berpikir dalam
membangun kampung adat serta acara atau ritual/seremonial.
III.
RIWAYAT
PERKAMPUNGAN ADAT ENDE-LIO
Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas
tuntutan kebutuhan akan rumah dan kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang
kedua etnis ini membangun rumah dan perkampungan adat dengan menggunakan
teknologi dan arsitektur tersendiri sebagai manifestasi hasil cipta, karsa dan
karya seni budaya di zamannya.
Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradaban
modern, di wilayah Kabupaten Ende telah hidup nenek moyang dari dua etnis dalam
satu peradaban yang telah maju di zamannya. Mereka memiliki kemampuan dalam
mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya sebuah perkampungan
tradisional yang bernilai tinggi arsitekturnya sehingga hal ini menjadi bahan
penelitian para pakar bangunan.
Perkampungan tradisional dengan bangunan-bangunan
rumah adat dan bangunan pendukung lainnya seperti Keda, Kanga, Tubu Musu merupakan warisan leluhur,
walaupun di beberpa tempat sudah mengalami perubahan dan kepunahan dari bentuk
aslinya akibat proses alam, perjalanan waktu dan ulah manusia. Namun demikian
tetap mempunyai nilai sejarah dan daya tarik bagi pencinta wisata budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk menjaga
dan meneruskan warisan budaya nenek moyang masih mewarnai kehidupan masyarakat
adat sekarang seperti dalam upaya membangun kembali kampung dan rumah adat di Nggela, Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan
beberapa tempat lain. Kegiatan ini berkembang menjadi atraksi wisata budaya.
Beberapa tempat yang memiliki tradisi tersebut adalah kampung-kampung
tradisional yang tersebar dalam wilayah Kabupaten Ende seperti Ranggase, Moni, Tenda, Nuakota, Pora, Wolojita, Wolopau, Nuamulu, Sokoria, Kurulimbu, Ndungga, Wololea, Woloare, Wolofeo, Saga, Pu’utuga, dll.
Salah satu perkampungan dan rumah adat tradisonal
yang masih utuh bangunannya adalah di Ngalupolo, terletak di Kecamatan Ndona.
Perkampungan tua yangm menarik dan mempunyai bentuk rumah yang unik dengan
arsitektur khas Ende-Lio walaupun atapnya mirip Joglo seperti di pulau Jawa–namun
berbeda latar belakang filosofisnya.
Rumah tinggal dan perkampungan tradisional yang
dibangun nenek moyang tersebut, memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya
sehingga tampak unik dan memberikan kedamaian bagi penghuninya.
Perjalanan waktu yang begitu panjang dan akulturasi
budaya akibat masuknya etnis pendatang dari luar, seperti dari Bugis, Makasar
dan Bima telah mempegaruhi kehidupan budaya masyarakat setempat. Pada awalnya
nenek moyang Ata Ende membangun rumah
dan perkampung adat sama seperti Ata Lio,
namun pada perkembangannya mengalami perubahan yang kemudian disebut “Sa’o Panggo” atau “Tiga Tezu” (Rumah Panggung Tiga Kamar) dimana tiang dan lantainya
terbuat dari balok kayu atau kelapa gelondongan, berdinding bambu, beratap daun
kelapa atau sirap bambu dengan bentuk atap memanjang dan puncaknya dihias
seperti sirip ikan. Rumah ini memiliki kolong.
IV.
STRUKTUR
GEOGRAFIS WILAYAH ENDE-LIO
Batas Wilayah Kabupaten Ende:
·
Sebelah Utara Kabupaten Ende Berbatasan
dengan Laut Flores di Nangaboa dan Ngalu Ijukate
·
Sebelah Selatan Kabupaten Ende
berbatasan dengan Laut Sawu juga di Nangaboa dan Ngalu Ijukate
·
Sebelah Timur Kabupaten Ende berbatasan
dengan Kabupaten Sikka
·
Sebelah Barat Kabupaten Ende berbataan
dengan Kabupaten Ngada
Kabupaten Ende mempunyai Luas 2.046,60 km². dengan
wilayah administratif yang terdiri dari 20 Kecamatan yang dibagi lagi menjadi
165 Desa dan 20 Kelurahan. Secara terperinci 20 wilayah Kecamatan yang ada di
Kabupaten Ende, yakni,
1.
Kecamatan Ngapanda
2.
Kecamatan Pulau Ende
3.
Kecamatan Maukaro
4. Kecamatan
Wewaria
5. Kecamatan
Detusoko
6. Kecamatan
Wolojita
7. Kecamatan
Wolowaru
8. Kecamatan
Kelimutu
9. Kecamatan
Maurole
10. Kecamatan
Detukeli
11. Kecamatan
Kota Baru
12. Kecamatan
Lio Timur
13. Kecamatan
Ende
14. Kecamatan
Ende Selatan
15. Kecamatan
Ndona
16. Kecamatan
Ndona Timur
17. Kecamatan
Ndori
18. Kecamatan
Ende Timur
19. Kecamatan
Ende Tengah
20. Kecamatan
Ndona Timur.
V.
SENI
SASTRA ENDE-LIO
Kabupaten Ende mempunyai dua etnik, yaitu etnik Ende
dan etnik Lio. Kedua suku ini mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam
kata-kata maupun dialek/logatnya; sehingga dari segi bahasanya suku Ende
disebut ata jaő dan suku Lio disebut ata ina. Selain bahasa sehari-hari atau
bahasa pasar, ada pula bahasa adat dalam ungkapan kata-kata adat maupun
berbentuk lagu mengandung seni sastra yang sangat tinggi yang dipertahankan
secara turun temurun hingga kini. Ungkapan kata-kata adat hanya digunakan pada
saat berbagai acara adat maupun acara ritual/seremonial adat dan acara-acara
lainnya yang berkaitan dengan adat.
Adapun seni sastra yang ada di Ende-Lio diantaranya:
a. Sua
Yakni, ungkapan kata-kata adat yang
mengandung arti dan makna pada suatu benda untuk memperoleh kekuatan pada benda
tersebut bila digunakan sebagai sarana.
b. Sua
Sasa
Ungkapan kata-kata adat yang
bersifat kutukan atau membalas/mengembalikan kejahatan yang dibuat oleh orang
lain baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
c. Soa
Somba
Ungkapan kata-kata adat yang
bersifat permohonan agar dalam kegiatan/usaha
memperoleh hasil yang berlimpah
atau yang memuaskan.
d.
Soa
Sola
Ungkapan
kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan/usaha memperoleh
hasil yang berlimpah atau yang memuaskan.
e.
Bhea
Ungkapan kata-kata adat yang merupakan
syair kebanggaan dari suku-suku/kaum keluarga secara turun-temurun; diucapkan
pada saat seremonial adat dan juga awal dari tarian woge.
f.
Nijo
Ungkapan kata-kata adat/doa dengan kata
kunci atau Ine yang dilakukan oleh Ata Bhisa
Mali/Dukun dalam proses penyembuhan orang sakit, seperti Nijo Ru’u
atau penyakit lainnya.
g.
Nunga
Nage
Berbagai jenis cerita rakyat seperti mite, sage, legenda, dll. Diceritakan oleh orang tua pada saat senggang
atau menjelang tidur dan juga pada saat memetik hasil panen.
h.
Lota
Membaca tulisan naskah/syair pada daun
lontar/wunu keli dalam bahasa dan
tulisan sansekerta. Hal ini merupakan satu keanehan karena bahasanya tidak
dimengerti tetapi orang senang mendengarnya. Membaca naskah Lota ini sebenarnya merupakan busaya
Jawa yang telah menjadi akar budaya Ende dan dipertahankan secara turun-temurun
hingga kini.
i.
Sodha
Ungkapan kata-kata adat dengan nada pada
acara Gawi dan susunan kata-katanya
disesuaikan dengan acara pesta adat yang diperuntukan. Sodha dibawakan oleh salah satu orang yang telah ditunjuk. Sodha Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu
syairnya tidak ditulis dan bukan semua orang menjadi pe-sodha, melainkan hanya orang-orang tertentu.
j.
Doja
Menyanyikan lagu yang dipersiapkan secara
khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat maupun lagu pernikahan atau lagu
hymne dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan. Lagu-lagu yang
dinyanyikan disebut juga lagu selamat.
k.
Jenda
Dinyanyikan secara spontan/tanpa teks oleh
seseorang atau dua orang secara bergantian dengan syair pele nekē seperti berbalas pantun pada acara seremonial adat. Jenda biasanya dalam posisi duduk dan
isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila dinyanyikan oleh dua
orang kata-katanya merupakan sindiran.
l.
Woi
Nada
Ratapan yang mengisahkan perjalanan hidup
pasangan muda-mudi yang menyedihkan dalam cerita rakyat Ende-Lio dan ada pula Woi yang dilakukan para dukun/bhisa mali dalam mengobati orang sakit
dengan melagukan nada woi dalam
keadaan tanpa sadar untuk menelusuri penyebab sakit/penyakit.
m.
Peo
Oro
Yaitu menyanyikan lagu-lagu tradisional
oleh peo/solo dan dijawab oleh koor/oro. Peo
Oro ini sangat kaya, karena untuk
mengatasi sesuatu pekerjaan yang berat menjadi ringan, seperti:
-
Mboka
: Goro watu rate dan balok
menggunakan rumah adat wa’u barang berat lainnya dengan cara menarik bersama-sama.
-
O
Lea:
Lagu dalam kebersamaan meniti jagung yang dipanen.
-
Rongi
: membuka lahan atau kebun
-
Dawe
Dera:
menanam tanaman
-
Debu
Dera:
menetas padi, dll.
n.
Soka
Ke Lai Lowo:
Syair lagu untuk menina-bobokan anak kecil
dan lagunya hampir sama dengan sodha,
hanya syairnya merupakan kata-kata jenaka dan Soka Ke ini juga dipakai dalam acara gawi yang tidak resmi disebut Sodha
Lai Lowo.
o.
Ndeo
Penyanyi menyanyikan lagu secara bebas baik
secara serius maupun bersifat jenaka/menghibur dalam berbagai acara. Ndeo ini berkembang menjadi pop Ende-lio
dalam rekaman audio-visual berbentuk kase/VCD yang berkembang pesat menjadi
hasil produksi para seniman/seniwati Kabupaten Ende.
VI.
SENI
TARI ENDE-LIO
Tarian Ende-Lio adalah sebua tarian daerah yang
mengekspresikan rasa lewat tatanan gerak dalam irama musik dan lagu. Dilihat
dari tata gerak dan bentuknya, tarian Ende-Lio dapat dibagikan beberapa jenis,
diantaranya yaitu:
·
Toja
Kelompok penari menarikan sebuah
tarian yang telah ditatar dalam bentuk ragam dan irama musik/lagu untuk suatu
penampilan yang resmi
·
Wanda
Penari dengan gayanya masin-masing,
menari mengikuti irama musik/lagu dalam suatu kelompok atau perorangan.
·
Wedho
Menari dengan gaya bebas dengan
mengandalkan gerak kaki seakan-akan melompat; dengan mengandalkan kelincahan
kaki dengan penuh energi dan dinamis, dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau atau perisai dan pedang/parang.
·
Gawi
Gerak tari dengan menyentakan kaki
pada tanah.
Untuk istilah toja
dan wanda sebenarnya sama arti yaitu
menari, hanya cara dan fungsinya berbeda dan kata wanda untuk suku Lio berarti Toja.
Dari generasi ke generasi para instruktur tari/peñata tari telah banyak
menciptakan tarian dianataranya, yaitu:
a. Gawi
Naro
Jenis tarian ini berbentuk
lingkaran mengelilingi tubu musu
dengan cara berpegangan tangan dan menyentakan kaki dalam bentuk dua macam
ragam yairu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju.
b. Tekka
Se
Tarian ini bentuknya seperti gawi/naro,
hanya berupa gerakan kaki satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/naro.
Keunikan dari Tekke Se, pada bagian tengah lingkaran
dinyalakan dengan bara api atau api unggun, dan tarian ini diadakan pada setiap
acara seremonial di wilayah Nangapanda dan sekitarnya
c. Wanda/Toja Pau
Tarian massa penampilan secara
perorangan/individual dalam suatu acara, biasanya menari diiringi dengan
selendang diiringi musik nggo wani, lamba atau musik feko genda. Biasanya bila penari wanita
selesai menari, dia harus memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau
lebih khususnya yaitu ana noő, demikian sebaliknya ana noő
memberi selendang kepada ana eda/bele
untuk menari.
d. Neku
Wenggu
Tarian ini berbentuk arak-arakan
oleh sekelompok penari dalam acara penjemputan atau mengantar sarana paä loka/sesajian
atau para tamu dan lain-lain. Bentuk tarian neku
wenggu sangat banyak dengan
masing-masing nama dari setiap daerah di Ende-Lio, diantaranya yaitu: Napa Nuwa, Poto Wolo, Poto Pala, Goro Watu/Kaju, dll.
e. Tarian
Joka Sapa
Tarian ini tergolong tarian nelayan
dan juga ada jenis yang sama seperti tarian Manu
Tai di Ngalupolo-Ndona. Kekhasan
tarian ini, para gadis/penari dengan pakaian nelayan diiringi dengan musik/lagu
gambus. Adapula tarian nelayan dibawakan oleh masyarakat di pesisir pantai Ende
Selatan/Utara dengan berbagai nama tarian seperti: terian Nelayan, tarian Irikiki, terian Geru Gaga, Tarian Manusama,
Tarian Wesa Pae, dll.
f. Tarian
Mure
Mure
artinya saling mendukung, tarian ini terdiri dari para ibu/gadis dari keluarga
mosalaki di Nggela, Pora, Waga yang diadakan pada acara ritual adat memohon hujan. Tarian ini
dengan kostum tradisional, lawo tege kasa
dan tidak berbaju, musik pengiringnya yaitu nggo
wani/Lamba disertai dengan lagu yang khas Wenggu untuk tarian Mure.
g. Tarian
Sangga Alu/Assu
Tarian ini awalnya adalah permainan
dan lambat laun berkembang menjadi sebuah tarian dan penarinya terdiri dari 2
(dua) pasang muda-mudi disertai dengan seorang ana jara. Dalam
penampilan dibutuhkan 4 hingga 8 orang pemain bambu palang dengan cara
menyentak dan menjepit secara serentak. Para penari memasukan kaki diantara
bambu dari tempo lambat hingga tempo cepat, selanjutnya dipadukan dengan irama
lagu serta ana jara menari
mengelilingi penari/pemain bambu palang.
h. Jara Angi
Tarian jara angi atau kuda
siluman dan yang paling popular disebut Tari Kuda Kepang, penarinya terdiri
dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan kuda yang dibuat
dari Mba’o (selendang pinang) atau
daun kelapa yang dianyam dengan bentuk seperti kuda.
i.
Tarian Pala Tubu Musu
Penari terdiri dari para ibu/gadis
dari setiap keluarga mosalaki di Wolotopo-Ndona, dengan seorang laki-lai
sebagai penari woge untuk upacara paä loka atau memberi sesajian di tubu musu.
j.
Tarian Dowe Dara
Tarian dowe dara ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri
dari 2 (dua) kelompok yairu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan
upacara ritual adat di tempat Mopo
(ditengah-tengah ladang).
k. Tarian
Napa Nuwa
Tarian ini sebagai luapan
kegembiraan dari para pejuang yang telah menang dalam peperangan. Penari
terdiri dari beberapa pejuang atau beberapa orang laki-laki, dilengkapi dengan
alat perang yaitu mbale dan sau sambil bergerak dalam bentuk
lingkaran. Tarian ini diawali dengan neku
wenggu dilanjutkan dengan bhea dan woge serta ruǔ atau agak dengan sau sambil bergerak dalam bentuk
lingkaran. Tarian dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan musik Nggo Lamba/Wani dan lagu Da Seko.
l.
Tarian Ule Lela Nggewa
Judul tarian ini identik dengan
lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau menyanyikan lagu Ule Lela
Nggewa pasti akan ingat dengan
tariannya. Dalam tarian ini penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya
hanya sebuah gendang, Pada zaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai
musik pengiringnya. Tarian ini telah membawa NTT dalam tingkat Nasional di
Jakarta dibawakan oleh Sanggar Seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya di
berbagai Negara dibawakan oleh Yayasan Budaya Bangsa.
m. Tarian
Woge
Tarian woge diiringi dengan nggo lamba/wani dengan irama yang khas. Tarian ini
biasanya ditarikan oleh satu orang atau secara individual pada upacara adat
didahului dengan kata-kata/syair atau bhea.
Penari dilengkapi dengan alat-alat perang seperti mbaku dan sau atau
perisai dan pedang/parang, pada pergelangan kaki dikat dengan untaian woda atau lonceng giring-giring. Dewasa
ini dasar dari tarian woge berkembang menjadi tarian secara group/massa dengan
tata gerak atau ragamnya serta design lantai digarap dengan berik sehingga
menjadi sebuah tarian yang indah.
Di Kabupaten Ende masih sangat masih sangat banyak tarian
yang sudah dikenal oleh masyarakat luas yang belum dapat kami uraikan secara
satu persatu. Kekayaan seni tari selain tari tradisional yang menyangkut
upacara adat, ada pula para instruktur tari menampilkan karyanya dengan judul
dari berbagai jenis burung, berladang, menenun, nelayan, dan tari kreasi baru
lainnya.
VII.
KERAJINAN
TENUN IKAT MASYARAKAT ENDE-LIO
Sebagian besar masyarakat Ende-Lio hidup dari
bercocok tanam, nelayan dan beternak seperti kerbau kuda, sapi dan kambing.
Jenis-jenis hewan tersebut dipergunakan sebagai alat pembayaran mas kawin. Dan
kehidupan masa lampau juga sering memanfaatkan hewan kuda sebagai sarana
transportasi. Selain profesi tersebut hal yang sangat menonjol dari daerah suku
Ende-Lio adalah kerajinan tenun ikatnya. Meski demikian diantara kedua wilayah
suku ini sedikit memiliki perbedaan jenis kerajinan tenun ikat.
·
Kerajinan
Tenun Ikat Ende
Seperti halnya di Sumba dan Timor, menenun
dikerjakan oleh para wanita. Kepandaian menenun ini diwariskan secara
turun-temurun, dan telah dipelajari sejak mereka masih kecil. Salah satu
tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan memakan sirih
khususnya saat sepanjang hari mereka bertenun. Jenis-jenis kain tenun yang
dihasilkan adalah selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki
dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai penutup
jenasah yang akan dimakamkan. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual
bebas di pasaran, kain tenun juga dipergunakan sebagai perlengkapan upacara
adat, sebagai pakaian adat, pakaian upacara dan juga mass kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain
tenun ikat, membawa banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain
digunakan pewarna sintesis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan baku
kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat dicelup dengan pewarna
alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas juga masih
ada.
Tenun ikat Ende dibuat dari bahan kapas yang dipilih
oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain
dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan menyolok.
Hasil tenunan di daerah Ende sedikit bergaya Eropa.
Lokasinya yang terletak di daerah pesisir pantai selatan Flores memungkinkan
orang-orang Ende pada masa lalu berhubungan dengan orang Eropa. Tenun ikat Ende
lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah. Salah satu ragam hias kain
tenun Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lainnya adalah hanya menggunakan
satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan
baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang
menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain
tenun Ende pada umumnya tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat
di bagian tengah, samping kedua ujung atau pinggir kain.
·
Kerajinan
Tenun Ikat Lio
Salah satu daerah di Flores yang cukup menonjol
dalam pembuatan kain tenun ikatnya adalah daerah Lio. Ragam hias kain tenun
ikat dari daerah ini diilhami oleh kain patola India berupa motif ceplok
seperti jelamprang pada kain batik. Selain motif ceplok kain dari Lio ini juga
dihias dengan motif daun dan ranting. Kain patola diperkenalkan oleh para pedagang
dari Portugis, yang pada abad keenam belas mengadakan perdagangan dan
pertukaran kain patola dengan rempah-rempah dari Nusantara bagian timur. Bangsa
Portugis dan bangsa-bangsa Eropa lain (Belanda dan Jerman) meninggalkan
pengaruh yang begitu besar, terutama karena banyaknya misionaris.
Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai
tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur
memiliki motif-motif patola yang diperuntukan khusus bagi kalangan raja-raja,
pejabat dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio dengan ragam
hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau
pendiri kampung yang disebut mosalaki.
Bahkan kain dianggap sangat istimewah hingga ikut dikuburkan bersama jenazah
seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio panjangnnya
mencapai sekitar empat meter.
Ciri khas motif tenun Lio yang lain adalah ukurannya
yang kecil dengan bentuk geometris, manusia, biawak dan lain-lain yang disusun
membentuk jalur-jalur kecil berwarna merah atau biru di atas dasar warna gelap.
Kain tenun Lio ini juga diberi hiasan tambahan atau aplikasi dengan manik-manik
dan kulit kerang. Pakaian dengan hiasan khusus ini hanya dipergunakan dalam
upacara-upacara adat tertentu.
Selain terkenal dengan tenunnya, Lio juga penghasil kerajinan
tembikar berupa kebutuhan rumah tangga khususnya peralatan dapur yang terbuat
dari tanah liat. Ada satu kesamaan ragam hias pada kain tenun ikat dan barang
tembikar yaitu goresan garis-garis geometris seperti bentuk maender, kait,
belah ketupat, tumpal dan lainya yang sering terdapat pada ragam hias ikat pada
kain tenun dan anyaman.
VIII. ANEKA WISATA DI DAERAH ENDE-LIO
·
Danau
Kelimutu
Ende adalah wilayah yang menyenangkan dengan
panorama bukit yang mengelilingi. Pada kawasan perbukitan yang mengelilingi
Ende terdapat gunung Meja (661 m)
yang berada berdekatan dengan Bandar Udara Arubusman. Sementara gunung yang
lebih besar, gunung Iya berada di
sebelah selatannya. Pada Bulan Desember 1992 sebuah gempa bumi menghancurkan
dan memporak-porandakan Ende namun saat ini telah kembali normal. Ende memiliki
cuaca panas dan berdebu khusunya pada saat akhir musim kering.
Bumi Kabupaten Ende yang berbukit-bukit ternyata
menyimpan keindahan yang luar biasa. Disinilah terdapat gunung Kelimutu , di
kawasan Taman Nasional Kelimutu. Terdapat juga Danau Kelimutu yang disebut juga
Danau Tiga Warna yang begitu terkenal. Bahkan, danau ini oleh dunia disebut
sebagai salah satu dari Sembilan Keajaiban Dunia.
Keindahan danau ini dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya
tahun 1929. Sejak itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal
mistik oleh masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan,
tetapi juga para peneliti yang ingin tahu fenomena alam yang amat langkah ini. Kawasan
Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26
Februari 1992.
Gunung Kelimutu meletus terakhir pada 1886 dan
meninggalkan tiga kawah berbentuk danau yang airnya berwarna merah (tiwu ata polo), biru (tiwu ko’o fai nuwa muri) dan putih (tiwu
ata bupu). Ketiga warna ini mulai berubah sejak 1969 saat meletusnya gunung
Iya di Ende, dan perubahan warna itu pernah serupa.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, danau
dengan air warna merah merupakan tempat berkumpulnya para arwah orang jahat.
Danau biru untuk arwah para muda-mudi, dan danau berwarna putih untuk arwa
orang tua. Para arwah diyakini akan bermukim di danau itu sesuai status
sosialnya.
·
Rumah
Pengasingan Bung Karno Di Ende
Setelah puas menikmati keindahan panorama Danau
Kelimutu, wisatawan bisa singgah di rumah bekas pengasingan Proklamator RI Soekarno yang terletak
di jantung kota Ende. Di sini tersimpan barang-barang milik Soekarno ketika
menjalani masa pengasingan selama empat tahun di Ende. Rumah yang terletak di
jalan Perwira, Kota Ende itu tampak seperti layaknya permukiman penduduk karena
kosntruksinya menyerupai permukiman di sampingnya.
Hal yang membedakannya adalah sebuah papan nama
bertuliskan “Situs, Bekas Rumah
Pengasingan Bung Karno di Ende” yang terpampang di halaman depan. Di rumah
yang berukuran 12X9 meter ini, Presiden pertama Republik Indonesia itu
menjalani masa pengasingan oleh kolonial Belanda selama empat tahun
(1934-1938).
Dalam berbagai catratan yang mengupas tentang masa
pengasingan Bung Karno di Ende Pulau Flores NTT salah satu yang paling diminati
masyarakat adalah buku berjudul “Bung Karno, Ilham Dari Flores Untuk
Nusantara”. Buku ini menceritakan perenungan Bung Karno di bawah sebuah
pohon Sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan lima butir Pancasila. Kelima
butir Pancasila secara resmi diumumkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan sidang
Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai.
Rumah Soekarno dan pohon sukun menjadi dua saksi
sejarah yang berada di jantung kota Ende yang tetap terpelihara dengan baik
sampai sekarang. Di kalangan masyarakat Ende, rumah pengasingan bung Karno ini
dianggap sakral.
·
Museum
Bahari Ende
Wisatawan yang berada di Ende dapat juga menikmati
Museum Bahari yang dibangun dengan koleksi antara lain biodata laut. Museum ini
dapat dikunjungi setiap hari dan disebelah terdapat Museum Rumah Adat yang
berbentuk rumah adat dengan ukuran besar.
Di depannya terdapat bangunan bergaya desa adat yang
dilengkapi altar persembahan. Rumah tradisional masyarakat Ende yang berada di
atas tiang dapat ditemui di Wolotopo yang terletak sekitar 8 Km di wilayah
timur kota Ende.
·
Perkampungan
Wisata Moni
Moni adalah sebuah desa yang cantik dengan udara
pegunungan yang sejuk dan tempat yang menyenangkan untuk berjalan-jalan. Desa
ini merupakan pintu gerbang bagi wisatawan yang akan menuju ke Danau Kelimutu.
Wilayah Desa Moni yang berada di jalur jalan Ende–Maumere merupakan pusat dari
wilayah Lio yang meliputi kawasan mulai dari timur Ende hingga ke Wolowaru.
Beberapa desa di sekitar Moni merupakan sentral
kerajinan tenun ikat antara lain di Desa Wolowaru yang berada di jalan raya
menuju Maumere. Desa yang terletak sekitar 13 Km di tenggara Moni ini dapat
menjadi titik awal perjalanan menuju ke beberapa desa lainnya yang juga menjadi
sentral kerajinan tenun ikat seperti Jopu, Wolojita dan Nggela.
Produksi kain tenun ikat di Nggela dikerjakan dengan
tangan dan menggunakan celupan pewarna alami. Hasil kain tenun dari Nggela
merupakan salah satu yang terbaik di Flores. Di Nggela, wisatawan dapat
langsung menyaksikan penduduk setempat membuat kain tenun ikat.